17 Tahun di Taman Lawang, Kini Merintis Jadi Pengacara
Mencari rumah sekaligus salon milik Yuli -panggilan akrab Yulianus Rettoblaut- tidak sulit. Meski berada di tengah permukiman padat penduduk di kawasan Meruyung, Depok, Jawa Barat, salon Yuli cukup terkenal. Lokasinya sekitar 200 meter timur masjid berkubah emas Dian Al Mashri yang kondang karena menjadi objek wisata religi.
''Cari salon Mbak Yuli ya, masuk saja gang golf itu, terus belok kiri,'' ujar seorang ibu di depan kompleks masjid saat Jawa Pos menanyakan arah jalan salon Yuli.
Satu jam menjelang ibadah salat Jumat (14/8), suasana salon dengan delapan meja rias itu sepi. Tidak ada satu pun pelanggan yang datang. Yuli ditemani dua rekannya sedang santai di ruang kecil samping salon. Mengenakan baju merah dengan riasan muka tebal, dia menyambut ramah. ''Ayo, ayo masuk. Susah nggak tadi cari alamatnya,'' tanya Yuli.
Rumah sekaligus salon milik Yuli itu sehari-hari juga menjadi markas besar Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI). Yuli adalah ketua umum FKWI. ''Aku sedang mengumpulkan data teman-teman (waria) di Jakarta,'' katanya menjelaskan kesibukannya di depan komputer.
Ada dua perangkat komputer di kantor FKWI. Di dindingnya dipajang foto-foto Yuli dan aktivitas FKWI. Di antarannya, saat Yuli diwisuda sebagai sarjana hukum Universitas At Tahiriyah, Jakarta.
''Kalau siang begini, salon sepi. Tapi, kalau malam atau akhir pecan, rumah saya ramai,'' ujarnya.
Dalam beraktivitas di salon maupun di sekretariat FKWI, Yuli didampingi tiga staf. Ketiganya juga waria. Tapi, Yuli membuka diri bila ada waria lain yang ingin menumpang tinggal di rumahnya.
Yuli bercerita, dirinya membangun rumah itu bersama teman-temannya dari nol. ''Sejak masih tanah kosong,'' tutur dia.
Awalnya, dia kesulitan mencari rumah yang bisa dipakai untuk tempat kumpul-kumpul komunitas waria. ''Sebab, masyarakat masih menganggap kami ini sampah atau pembawa malapetaka,'' katanya.
Beruntung, dibantu beberapa LSM peduli hak asasi manusia dan komunitas gereja, Yuli cs berhasil membeli tanah di Depok itu pada Februari 2009. Pelan-pelan mereka mencari dana untuk membangun rumah singgah itu. ''Ada yang menari, ada yang menyanyi, ada yang rias salon. Kami ini kan punya bakat macam-macam. Dari usaha itulah, sedikit demi sedikit terkumpul uang,'' katanya.
Akhirnya, rumah seluas 144 m2 itu pun bisa terwujud. ''Bahkan, kami berencana membuat bangunan bertingkat nanti,'' imbuh dia.
Di lokasi itu, Yuli cs tidak mendapatkan penolakan dari warga setempat. Bahkan, kata waria asal Papua itu, tak jarang ibu-ibu sekitar meminjam ruang di rumah singgah tersebut untuk keperluan arisan.
''Kami juga menggelar bakti sosial di waktu-waktu tertentu, seperti saat hari raya atau 17 Agustus,'' katanya.
Sebagai sarjana hukum, Yuli menginginkan kaumnya bangkit dari ketidakadilan dan cemoohan. Caranya, memberdayakan diri masing-masing.
Untuk itu, Yuli terus berupaya meraih jalan menuju kebangkitan itu. Selain menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam At Tahiriyah, Jakarta, dia mencoba ikut seleksi calon anggota Komnas HAM pada 2007. Dia lolos seleksi awal. Namun, di tingkat fit and proper test di DPR, dia tidak berhasil masuk kualifikasi.
''Saya gagal menjadi anggota Komnas HAM karena waria dianggap belum saatnya menjadi pejabat publik. Terutama oleh kalangan agamis,'' katanya.
Gemas dengan fakta itu, dia lalu mendaftar kuliah di Universitas At Tahiriyah yang kampusnya beralamat di Jalan Kampung Melayu III, Bukit Duri, Jakarta Selatan. Yuli pun lulus dengan predikat cum laude dan diwisuda pada 31 Juli 2010.
''Awalnya saya ragu mau masuk. Sebab, itu kan universitas Islam. Tapi, setelah masuk, ternyata mereka semua baik dan ramah. Saya diterima dengan dandanan sebagai waria,'' katanya.
Selama kuliah, Yuli merasa tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminasi. Bahkan, Rektor Universitas At Tahiriyah Dr Suryani Thaher justru menganggap leberadaan Yuli sebagai mahasiswa kampus itu merupakan berkah. ''Gara-gara kamu, At Tahiriyah terkenal di mana-mana lho, Yul,'' kenang Yuli menirukan komentar rektor kampusnya.
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas At Tahiriyah Hamdan SH MSi memuji sikap gigih Yuli dalam belajar. ''Dia cepat paham dan menguasai perkuliahan,'' kata Hamdan saat dikonfirmasi secara terpisah.
Skripsi Yuli berjudul Hak Kerja Kelompok Minoritas dan Perda DKI Jakarta pun berhasil dipertahankan dalam ujian dan mendapat nilai A. ''Kami senang bisa mempunyai alumnus seperti Yuli,'' kata Hamdan.
Yuli berasal dari suku pedalaman Asmat di Papua. Dia lahir pada 30 April 1961 sebagai anak ketujuh di antara sebelas bersaudara pasangan mendiang Petrus Rettoblaut-Paskalina Hurulean. Di desa kelahirannya, Yuli mengenyam pendidikan SD dan SMP dalam kondisi yang serba terbatas. Menginjak bangku SMA, barulah Yuli mengenal kehidupaan yang lebih kompleks di Kabupaten Merauke.
Selepas SMA, tepatnya pada 1978, Yuli memberanikan diri merantau ke Jakarta. ''Saya merasakan ada panggilan jiwa sebagai wanita,'' ujar Yuli.
Dia kuliah hingga semester IV di sebuah universitas swasta di Jakarta Selatan sebelum dropout karena dikhianati ''sang kekasih'' pada 1984.
Seperti patah hati, gairah hidup Yuli saat itu langsung ikut drop. Bahkan, kehidupannya menjadi tidak keruan. Dia makin nekat dan turun ke jalan menjajakan diri. ''Hampir 17 tahun saya mangkal sebagai PSK,'' katanya berterus terang.
Lokasi rutin dia mangkal itu di kawasan Taman Lawang, Jakarta Pusat, dan kawasan Prapanca, Jakarta Selatan.
''Saya dikenal orang karena badan saya paling besar dan paling hitam,'' paparnya, lantas tertawa.
Lantaran badannya yang kekar itu, Yuli juga ditakuti orang-orang yang mengisengi dirinya maupun kawan-kawannya sesama waria. ''Saya tidak mau waria dilecehkan orang. Kalau ada waria diperlakukan kurang ajar, saya siap mengajak duel orang itu,'' ujarnya.
''Saya nekat seperti ini karena saya sudah tidak punya siapa-siapa,'' tambah dia.
Akhirnya, sekitar 1996, jalan terang datang ke hati Yuli. ''Saya merenung, tidak mungkin seperti ini terus di jalanan hingga tua. Kalau bukan dari diri sendiri, siapa lagi yang akan mengubah diri kita,'' ujarnya.
Dia lantas memilih Gereja Stefanus, Cilandak, Jakarta Selatan, sebagai tempat beraktivitas. Sebelum memimpin FKWI, Yuli menjadi ketua Muda Mudi Katolik dan ketua Forum Komunikasi Waria Jakarta Selatan. ''Sejak mendapat pencerahan itu, hati saya tenang. Gairah hidup saya menyala lagi.''
Kini Yuli sedang menempuh S-2 ilmu hukum pidana di Unitama, Jagakarsa, Jakarta Selatan. ''Saya juga sedang ambil sertifikasi pengacara di Peradi. Saya ingin membela hak-hak kaum saya,'' katanya.
Bahkan, tawaran beasiswa S-3 dari negeri Belanda sudah siap diambil. ''Pokoknya, sampai waria merdeka dari penindasan, saya akan terus berjuang,'' katanya disambut komentar rekan-rekannya.
-------------------------
RIDLWAN HABIB, Depok
-------------------------
Sumber :
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=151630
Komunitas transgender alias kaum waria masih dipandang sebelah mata di Indonesia. Hinaan, cacian, dan pengucilan adalah ''makanan'' mereka sehari-hari. Yulianus Rettoblaut, waria yang baru lulus dari Fakultas Hukum Universitas Islam At Tahiriyah, Jakarta, ingin ubah pandangan itu.
Mencari rumah sekaligus salon milik Yuli -panggilan akrab Yulianus Rettoblaut- tidak sulit. Meski berada di tengah permukiman padat penduduk di kawasan Meruyung, Depok, Jawa Barat, salon Yuli cukup terkenal. Lokasinya sekitar 200 meter timur masjid berkubah emas Dian Al Mashri yang kondang karena menjadi objek wisata religi.
''Cari salon Mbak Yuli ya, masuk saja gang golf itu, terus belok kiri,'' ujar seorang ibu di depan kompleks masjid saat Jawa Pos menanyakan arah jalan salon Yuli.
Satu jam menjelang ibadah salat Jumat (14/8), suasana salon dengan delapan meja rias itu sepi. Tidak ada satu pun pelanggan yang datang. Yuli ditemani dua rekannya sedang santai di ruang kecil samping salon. Mengenakan baju merah dengan riasan muka tebal, dia menyambut ramah. ''Ayo, ayo masuk. Susah nggak tadi cari alamatnya,'' tanya Yuli.
Rumah sekaligus salon milik Yuli itu sehari-hari juga menjadi markas besar Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI). Yuli adalah ketua umum FKWI. ''Aku sedang mengumpulkan data teman-teman (waria) di Jakarta,'' katanya menjelaskan kesibukannya di depan komputer.
Ada dua perangkat komputer di kantor FKWI. Di dindingnya dipajang foto-foto Yuli dan aktivitas FKWI. Di antarannya, saat Yuli diwisuda sebagai sarjana hukum Universitas At Tahiriyah, Jakarta.
''Kalau siang begini, salon sepi. Tapi, kalau malam atau akhir pecan, rumah saya ramai,'' ujarnya.
Dalam beraktivitas di salon maupun di sekretariat FKWI, Yuli didampingi tiga staf. Ketiganya juga waria. Tapi, Yuli membuka diri bila ada waria lain yang ingin menumpang tinggal di rumahnya.
Yuli bercerita, dirinya membangun rumah itu bersama teman-temannya dari nol. ''Sejak masih tanah kosong,'' tutur dia.
Awalnya, dia kesulitan mencari rumah yang bisa dipakai untuk tempat kumpul-kumpul komunitas waria. ''Sebab, masyarakat masih menganggap kami ini sampah atau pembawa malapetaka,'' katanya.
Beruntung, dibantu beberapa LSM peduli hak asasi manusia dan komunitas gereja, Yuli cs berhasil membeli tanah di Depok itu pada Februari 2009. Pelan-pelan mereka mencari dana untuk membangun rumah singgah itu. ''Ada yang menari, ada yang menyanyi, ada yang rias salon. Kami ini kan punya bakat macam-macam. Dari usaha itulah, sedikit demi sedikit terkumpul uang,'' katanya.
Akhirnya, rumah seluas 144 m2 itu pun bisa terwujud. ''Bahkan, kami berencana membuat bangunan bertingkat nanti,'' imbuh dia.
Di lokasi itu, Yuli cs tidak mendapatkan penolakan dari warga setempat. Bahkan, kata waria asal Papua itu, tak jarang ibu-ibu sekitar meminjam ruang di rumah singgah tersebut untuk keperluan arisan.
''Kami juga menggelar bakti sosial di waktu-waktu tertentu, seperti saat hari raya atau 17 Agustus,'' katanya.
Sebagai sarjana hukum, Yuli menginginkan kaumnya bangkit dari ketidakadilan dan cemoohan. Caranya, memberdayakan diri masing-masing.
Untuk itu, Yuli terus berupaya meraih jalan menuju kebangkitan itu. Selain menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam At Tahiriyah, Jakarta, dia mencoba ikut seleksi calon anggota Komnas HAM pada 2007. Dia lolos seleksi awal. Namun, di tingkat fit and proper test di DPR, dia tidak berhasil masuk kualifikasi.
''Saya gagal menjadi anggota Komnas HAM karena waria dianggap belum saatnya menjadi pejabat publik. Terutama oleh kalangan agamis,'' katanya.
Gemas dengan fakta itu, dia lalu mendaftar kuliah di Universitas At Tahiriyah yang kampusnya beralamat di Jalan Kampung Melayu III, Bukit Duri, Jakarta Selatan. Yuli pun lulus dengan predikat cum laude dan diwisuda pada 31 Juli 2010.
''Awalnya saya ragu mau masuk. Sebab, itu kan universitas Islam. Tapi, setelah masuk, ternyata mereka semua baik dan ramah. Saya diterima dengan dandanan sebagai waria,'' katanya.
Selama kuliah, Yuli merasa tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminasi. Bahkan, Rektor Universitas At Tahiriyah Dr Suryani Thaher justru menganggap leberadaan Yuli sebagai mahasiswa kampus itu merupakan berkah. ''Gara-gara kamu, At Tahiriyah terkenal di mana-mana lho, Yul,'' kenang Yuli menirukan komentar rektor kampusnya.
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas At Tahiriyah Hamdan SH MSi memuji sikap gigih Yuli dalam belajar. ''Dia cepat paham dan menguasai perkuliahan,'' kata Hamdan saat dikonfirmasi secara terpisah.
Skripsi Yuli berjudul Hak Kerja Kelompok Minoritas dan Perda DKI Jakarta pun berhasil dipertahankan dalam ujian dan mendapat nilai A. ''Kami senang bisa mempunyai alumnus seperti Yuli,'' kata Hamdan.
Yuli berasal dari suku pedalaman Asmat di Papua. Dia lahir pada 30 April 1961 sebagai anak ketujuh di antara sebelas bersaudara pasangan mendiang Petrus Rettoblaut-Paskalina Hurulean. Di desa kelahirannya, Yuli mengenyam pendidikan SD dan SMP dalam kondisi yang serba terbatas. Menginjak bangku SMA, barulah Yuli mengenal kehidupaan yang lebih kompleks di Kabupaten Merauke.
Selepas SMA, tepatnya pada 1978, Yuli memberanikan diri merantau ke Jakarta. ''Saya merasakan ada panggilan jiwa sebagai wanita,'' ujar Yuli.
Dia kuliah hingga semester IV di sebuah universitas swasta di Jakarta Selatan sebelum dropout karena dikhianati ''sang kekasih'' pada 1984.
Seperti patah hati, gairah hidup Yuli saat itu langsung ikut drop. Bahkan, kehidupannya menjadi tidak keruan. Dia makin nekat dan turun ke jalan menjajakan diri. ''Hampir 17 tahun saya mangkal sebagai PSK,'' katanya berterus terang.
Lokasi rutin dia mangkal itu di kawasan Taman Lawang, Jakarta Pusat, dan kawasan Prapanca, Jakarta Selatan.
''Saya dikenal orang karena badan saya paling besar dan paling hitam,'' paparnya, lantas tertawa.
Lantaran badannya yang kekar itu, Yuli juga ditakuti orang-orang yang mengisengi dirinya maupun kawan-kawannya sesama waria. ''Saya tidak mau waria dilecehkan orang. Kalau ada waria diperlakukan kurang ajar, saya siap mengajak duel orang itu,'' ujarnya.
''Saya nekat seperti ini karena saya sudah tidak punya siapa-siapa,'' tambah dia.
Akhirnya, sekitar 1996, jalan terang datang ke hati Yuli. ''Saya merenung, tidak mungkin seperti ini terus di jalanan hingga tua. Kalau bukan dari diri sendiri, siapa lagi yang akan mengubah diri kita,'' ujarnya.
Dia lantas memilih Gereja Stefanus, Cilandak, Jakarta Selatan, sebagai tempat beraktivitas. Sebelum memimpin FKWI, Yuli menjadi ketua Muda Mudi Katolik dan ketua Forum Komunikasi Waria Jakarta Selatan. ''Sejak mendapat pencerahan itu, hati saya tenang. Gairah hidup saya menyala lagi.''
Kini Yuli sedang menempuh S-2 ilmu hukum pidana di Unitama, Jagakarsa, Jakarta Selatan. ''Saya juga sedang ambil sertifikasi pengacara di Peradi. Saya ingin membela hak-hak kaum saya,'' katanya.
Bahkan, tawaran beasiswa S-3 dari negeri Belanda sudah siap diambil. ''Pokoknya, sampai waria merdeka dari penindasan, saya akan terus berjuang,'' katanya disambut komentar rekan-rekannya.
-------------------------
RIDLWAN HABIB, Depok
-------------------------
Sumber :
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=151630