8 Agustus 2010

Indonesia Tuntut Keadilan Iklim

Negara-negara maju justru membebankan biaya adaptasi perubahan iklim kepada negara berkembang.

FORUM Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim Indonesia mengkhawatirkan kesepakatan penurunan emisi gas rumah kaca setara global dalam negosiasi perubahan iklim di Bonn, Jerman, 2-4 Agustus mendatang tidak akan tercapai. Pada pertemuan itu akan dibahas penurunan emisi gas rumah kaca secara drastis untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata permukaan di atas 2 derajat celsius.

Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, setelah COP-15 di Kopenhagen, Denmark, gagal karena tidak mendapatkan komitmen dari negara industri, gelagat sama akan terjadi di Bonn. "Negara maju yang jumlahnya hanya 20% dari penduduk dunia telah mengeluarkan gas rumah kaca lebih dari 70% untuk industri dan pembangunan," kata Faby, akhir pekan lalu.

Seharusnya, lanjut dia, mereka bersedia menurunkan emisi gas rumah kaca dengan memberikan ruang sisa atmosfer bagi negara berkembang. "Negara-negara industri harus menurunkan emisi secara drastis mulai sekarang hingga 2050. Sehingga memungkinkan negara berkembang untuk tumbuh dengan mengonsumsi ruang atmosfer yang masih tersisa."

Koordinator Civil Society Forum (CSF) Giorgio Budi Indrarto bersikap sama. Ia menegaskan, jika emisi rumah kaca tidak diturunkan, ekologi di seluruh dunia terancam. "Masyarakat Sipil Indonesia mendorong adanya isukeadilan iklim sebagai basis dalam negosiasi serta memastikan keselamatan manusia dan ekologi," seru Budi.

Budi pun meluncurkan kampanye bersama CSF dan IESR untuk mendukung seruan keadilan iklim kepada pemimpin dunia. Kedua wakil LSM itu mengingatkan saat Indonesia menjadi tuan rumah konvensi perubahan iklim (UNFCC) di Bali, negara maju berjanji memberikan bantuan dana dan teknologi bagi negara miskin guna mengatasi pemanasan global.

Demikian juga saat pertemuan di Kopenhagen, negara maju bersedia menyediakan bantuan US$30 miliar selama 2010-2012, untuk membiayai program penanggulangan pemanasan global. Mereka bahkan berencana meningkatkan bantuan menjadi US$100 juta per tahun sampai 2020.

Namun, menurut Faby, anggaran itu tidak cukup untuk program adaptasi perubahan iklim di negara berkembang. Negara maju justru membebankan biaya adaptasi kepada negara berkembang. "Bukan kita yang menyebabkan perubahan iklim, ke-napa negara maju malah membebani negara berkembang. Kita bicara soal keadilan," cetusnya.

Kedua LSM juga mendapat dukungan dari Walhi dalam menyuarakan penolakan terhadap cara-cara negara maju, yang mengalihkan isu pengurangan karbon dengan skema perdagangan karbon dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. "Kami akan menolak skema ini di Bonn karena telah menjauhkan tanggung jawab negara-negara Annex 1 (negara industri) untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan," ujar Teguh Surya, Kepala Departemen Kampanye Walhi.


Terlalu murah

Skema perdagangan karbon belum diputuskan meski Indonesia telah menjalankan beberapa proyek percobaan berlandaskan Permenhut No 68/2008. Terdapat 26,6 juta hektare hutan alam yang diskenariokan masuk mekanisme perdagangan karbon dengan nilai sekitar Rp63 triliun.

Skema jual murah karbon menurut perhitungan ketiga LSM tersebut sudah termasuk tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat. Bila dikalkulasikan, semua itu hanya senilai Rpl2 per meter persegi.

Wapres Boediono, saat membuka Association for Tropical Biology ana Conservation di Sanur, pekan lalu, menjelaskan pemerintah sanggup mengurangi emisi karbon sampai 26% pada 2020. Salah satunya dengan mekanisme penjualan karbon murah. Kebijakan itu dianggap telah merampas ruang atmosfer orang miskin.
----------------------------
Siswantini Suryandari
----------------------------


Ringkasan Artikel Ini
Kedua wakil LSM itu mengingatkan saat Indonesia menjadi tuan rumah konvensi perubahan iklim (UNFCC) di Bali, negara maju berjanji memberikan bantuan dana dan teknologi bagi negara miskin guna mengatasi pemanasan global. "Bukan kita yang menyebabkan perubahan iklim, ke-napa negara maju malah membebani negara berkembang. Kedua LSM juga mendapat dukungan dari Walhi dalam menyuarakan penolakan terhadap cara-cara negara maju, yang mengalihkan isu pengurangan karbon dengan skema perdagangan karbon dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. "Kami akan menolak skema ini di Bonn karena telah menjauhkan tanggung jawab negara-negara Annex 1 (negara industri) untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan," ujar Teguh Surya, Kepala Departemen Kampanye Walhi.

sumber : http://bataviase.co.id/node/313327

4 komentar:

Bagaimanakah tanggapan Anda tentang hal ini.
Silahkan menuliskan komentar Anda pada opsi Nama/URL, lalu tulis nama anda dan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia.

Jika anda tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongi.