22 Agustus 2010

Ramadan di Kawasan ”Merah” Little India, Singapura

Di Masjid Buka Puasa, di Luar Pub Tampilkan Tari Erotis


KAWASAN MERAH: Umat Muslim Little India Singapura melaksanakan berbuka puasa di dalam masjid.
Sementara di luar hiburan malam termasuk tari erotis tetap berlangsung dan tidak terpengaruh Ramadan




Muslim Tamil dan India berusaha terus menjunjung toleransi keberagamaan di tengah persilangan budaya wilayah Little India, Singapura. Muslim di sana selalu berikhtiar untuk menjadi kelompok yang open minded terhadap kelompok berkeyakinan lain.

Pukul 17.15 waktu Singapura. Sayup-sayup suara azan Asar terdengar dari menara Masjid Abdul Gaffoor. Ratusan orang etnis Tamil dan India bersicepat memasuki masjid yang terletak di Dunlop Street, wilayah Ronchor Planning Area yang juga masuk kawasan Little India itu.

Begitu jamaah penganut mazhab Imam Hanafi tersebut rampung mendirikan salat, Muhammad Ali bergegas turun ke lantai dasar menuju dapur umum masjid. Dia lantas mengambil centong. Tangan pria 60 tahun tersebut terlihat cekatan memasukkan bubur ke dalam puluhan kantong plastik merah di depannya. Ali adalah salah seorang takmir masjid yang didirikan pada 1907 tersebut.

“Tugas saya, salah satunya, membagikan bubur ini kepada jamaah yang hendak berbuka puasa,” katanya kepada JPNN, Senin lalu (16/8).

Ratusan jamaah yang selesai salat tanpa dikomando antre mengular untuk mendapatkan bubur yang telah disediakan pengurus takmir. Mereka tertib dan sangat tenang. Tidak ada aksi saling dorong dan sikut. Saat beberapa petugas pembagi bubur mengatakan bahwa jatah sudah habis, puluhan jamaah yang tidak mendapatkan jatah lantas balik badan dalam diam. Tidak ada protes dan keluh kesah.

Sepuluh menit menjelang berbuka puasa, lebih dari 600 jamaah sudah duduk berhadap-hadapan di kursi memanjang yang disediakan takmir. Di atas meja depan mereka tersedia berupa-rupa menu berbuka puasa. Sajian utamanya adalah semangkuk bubur nasi. Jenis serupa dengan yang dibagikan selepas asar. Dalam bahasa Tamil, bubur nasi dengan campuran bawang bombay itu disebut Kanji-kanji. Minumannya berupa susu manis dengan ekstrak bunga mawar. Kurma dan pepaya juga tersedia. JPNN yang ikut berbuka puasa sore itu juga mendapat bagian menu khas muslim Tamil dan India. Sementara itu, di sekitar Masjid Abdul Gaffoor, aktivitas Dunlop Street mulai hidup. Kawasan yang sejak 1800-an menjadi salah satu pusat aktivitas pedagang Tamil tersebut mulai ramai oleh para pelancong dari seluruh dunia. Restoran-restoran semakin riuh. Tempat-tempat hiburan malam menggeliat.

Berjarak dua bangunan di sebelah utara Masjid Abdul Gaffoor, panti pijat yang berlabel pijat tradisional Thailand ramai dipadati pengunjung. Setidaknya, terdapat tujuh panti pijat di jalan yang panjangnya hanya 350 meter tersebut. Selain panti pijat, ada tempat pelayanan pengurusan badan dan fitness centre untuk para turis. Tempat hiburan lain tidak kalah meriah. Pub-pub yang menyediakan tarian-tarian erotis khas Tamil dan India juga bertebaran di sekitar Dunlop Street. Hanya membayar 15-25 dolar Singapura atau setara Rp99 ribu-Rp165 ribu, pengunjung bisa menikmati segelas bir dan menonton atraksi tari khusus dewasa itu.
Memang, di Dunlop Street sangat banyak penginapan murah khusus backpacker. Kamar hostel backpacker biasanya berbentuk serupa asrama. Dalam satu kamar terdapat enam sampai delapan tempat tidur susun. Tarifnya relatif murah, 25-28 dolar Singapura (Rp165 ribu-Rp185 ribu) semalam.

Muhammad Ali menyadari lokasi masjid yang berada di tengah tempat-tempat maksiat tersebut. Sejak lama Dunlop Street dan bahkan Little India mengalami persilangan budaya seperti itu. Para pelancong datang dan pergi, membawa dampak bagi komunitas yang mayoritas muslim di wilayah tersebut. “Namun, kami sadar atas kondisi itu. Memang seperti inilah keadaannya. Nuansa Ramadan, tampaknya, tidak terasa kecuali di dalam masjid. Tapi, justru inilah yang menguatkan iman kami,” tegas Ali.

Pria yang mengaku sering ke Jogjakarta itu mengungkapkan, seperti halnya negara lain, tingkat ibadah populasi muslim di seluruh Singapura bermacam-macam. Ada yang sangat taat beribadah, banyak pula yang Islam KTP. Populasi muslim di Singapura memang cukup besar. Di antara 5 juta penduduk Singapura, diperkirakan 15 persen atau 750 ribu orang memeluk Islam. Jumlah tersebut hanya kalah oleh penganut Buddha yang mencapai 43 persen.

Muslim Singapura juga terdiri atas berbagai etnis. Ada Tamil, India, Melayu, Pakistan, dan sedikit Tionghoa. Etnis Tamil dan India menjadi pemeluk muslim terbesar dengan 17 persen populasi. “Jadi, dengan jumlah itu, siapa pun bisa menjadi taat dan tidak. Bergantung masing-masing individu,” kata Ali. “Namun, dengan kondisi kebebasan seperti ini, kami merasa lebih sreg menjalankan perintah agama. Tidak ada beban dan paksaan,” tambahnya menunjuk banyaknya bentuk tempat maksiat di Dunlop Street.

Ali mencontohkan, salah satu pusat Islam di Singapura berada di Kampung Melayu (Melayu Village). Letaknya di wilayah Kampung Glam. Pada hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha, banyak pedagang Kampung Melayu yang berjualan aneka suvenir khas hari raya.

Ironisnya, meski menjadi pusat umat muslim, Kampung Melayu juga sangat dekat dengan pusat prostitusi terbesar Singapura, Geylang. “Tapi, semua itu tidak masalah bagi kami,” ujarnya tersenyum. Warga asing juga nyaman dengan kondisi Dunlop Street. Meski sebagian besar penduduk asli wilayah itu adalah muslim, kebebasan berekspresi tetap dijunjung tinggi.

2 komentar:

  1. Pingin banget bisa buka puasa disana

    BalasHapus
  2. :)

    itu puasa tahun kemarin..,
    mungkin tahun ini juga sih..,

    aku juga ingin ke sana juga...

    BalasHapus

Bagaimanakah tanggapan Anda tentang hal ini.
Silahkan menuliskan komentar Anda pada opsi Nama/URL, lalu tulis nama anda dan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia.

Jika anda tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongi.