Terinspirasi Museum Picasso, Padukan Tiga Budaya
NAMA Tjong A Fie tak dapat dipisahkan dari sejarah Medan. Orang kaya raya itu merupakan dermawan yang menyumbang banyak untuk pembangunan gedung-gedung penting di kotanya. Untuk mengenang jasa besar Tjong A Fie, sebuah museum didirikan.
Oleh : IGNA A., Medan
Rumah Tjong A Fie di kawasan Jalan Ahmad Yani (Kesawan) cukup familier bagi warga Medan. Bahkan, rumah yang dibangun pada 1895 tersebut telah ditetapkan sebagai salah satu objek wisata ibu kota Sumatera Utara itu. Para agen perjalanan di Medan kerap memasukkan rumah pendatang dari Guandong, Tiongkok, tersebut dalam paket tur wisata kota.
Terlepas dari sosok Tjong A Fie yang melegenda di Medan, rumah tinggal pengusaha yang sering membantu Pemerintah Kota Medan tempo dulu itu memang masih megah dan terawat dengan baik. Kompleks rumah tersebut dibangun di atas areal seluas 6.000 meter persegi. Luas bangunannya 5.000 meter persegi. Rumah berlantai dua dengan model art deco tersebut memiliki 40 ruang.
Bangunan itu merupakan perpaduan tiga budaya, yakni Tiongkok, Melayu, dan Eropa. Aroma Eropa begitu terasa dari besi-besi kolom yang kukuh dan besar, khas bangunan Belanda. Cita rasa Tiongkok tampak pada ukiran kayunya. Lalu, nuansa Melayu terlihat dari warna kuning menyala yang dominan.
MUSEUM- Tampak pengunjung menyaksikan beberapa koleksi di salah satu ruangan di Museum Tjong Afie, Medan Foto: Igna Ardiani/ Jawa Pos
Rumah Tjong A Fie merupakan satu di antara ratusan bangunan di Jalan Ahmad Yani yang menyimpan cerita sejarah penting Kota Medan. Di sepanjang jalan 500-an meter itu juga berdiri kantor perkebunan (bangunan modern pertama di Medan), penerbitan, dan bank. Selain itu, ada restoran serta pertokoan. Pada awal abad ke-20, kawasan Kesawan sudah menjadi pusat perekonomian kota yang ramai.
Rumah mewah tersebut dulu menjadi tempat tinggal keluarga besar Tjong A Fie. Yakni, Tjong A Fie beserta istri (ketiga) Lim Koei Yap dan tujuh anaknya. Sampai sekarang, rumah itu masih ditinggali Fon Prawira, cucu Tjong A Fie dari anak keempatnya, Ching Kweet Leong. Sejak 18 Juni 2009, rumah besar itu diresmikan sebagai Tjong A Fie Memorial Institute dan dikenal juga dengan nama Tjong A Fie Mansion. Pembukaan Tjong A Fie Memorial Institute bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-150 Tjong A Fie.
"Kami ingin rumah itu jadi museum hidup untuk mengenang leluhur kami," ujar Fon Prawira, sang penggagas, ketika ditemui Jawa Pos pekan lalu.
Keluarga Tjong A Fie pindah ke Denmark pada 1921 dan baru kembali ke Indonesia pada 1930. Selama sembilan tahun itu, rumah tersebut dibiarkan kosong. Semula, anak-anak Tjong A Fie kembali mendiami rumah itu. Namun, tinggal keluarga Fon Prawira yang bertahan di sana hingga kini.
Rumah fantastis Tjong A Fie itu memang mengundang banyak investor yang bermaksud membelinya. Tak sedikit yang mengajukan penawaran untuk menjadikan bangunan tersebut sebagai tempat komersial. Misalnya, ada yang ingin mengubahnya menjadi rumah makan. Ada juga yang berniat menjadikannya hotel atau penginapan, mengingat rumah tersebut mempunyai banyak kamar.
Fon menyatakan pernah tergoda untuk menerima tawaran menggiurkan itu. Namun, setelah berpikir panjang dan bermusyawarah dengan keluarga besar Tjong A Fie, Fon tak rela melepasnya. "Saya berpikir jangka panjang mengenai kondisi bangunan itu," ungkap dia.
Fon tidak ingin terjebak pada kenikmatan sesaat dengan menerima tawaran investor, tapi kemudian bangunan peninggalan kakeknya itu rusak dan berubah fungsi. Sebab, bila investor masuk, sangat mungkin bangunan tersebut dirombak di sana sini. Padahal, dia mendapatkan amanat untuk melestarikan rumah keluarga Tjong A Fie itu.
"Kalau sudah jatuh ke investor, rumah tersebut bisa kehilangan jati diri sebagai rumah pusaka. Padahal, rumah itu menyimpan sejarah penting, tidak hanya bagi keluarga besar kami, tetapi juga Kota Medan," ungkap direktur PT Mitra Nabati Nusantara tersebut.
Sebagai bagian dari sejarah Kota Medan, keluarga Fon menyadari bahwa masyarakat kota itu juga berhak tahu lebih jauh tentang rumah salah seorang paling berpengaruh di Medan pada zamannya tersebut. Dari gagasan itulah, muncul ide untuk menjadikan rumah tersebut sebagai museum. Apalagi, banyak peninggalan Tjong A Fie yang tersimpan dengan baik di dalam rumah itu. "Sayang kalau tidak dimanfaatkan. Apalagi, usia barang-barang peninggalan kakek tersebut sudah cukup tua, lebih dari seabad," tutur dia.
Lantaran masih ditinggali ahli waris, rumah itu dikonsep Fon sebagai the living museum atau museum hidup. Konsep tersebut, papar dia, terinspirasi Museum Picasso di Barcelona, Spanyol. Dengan konsep itu, museum tak sekadar memajang benda-benda peninggalan. Namun, pengunjung bisa melihat secara langsung kehidupan pemilik museum yang masih tinggal di situ. Konsep semacam itu juga diadopsi Museum Affandi di Jogjakarta. Selain menyimpan karya-karya sang maestro, museum tersebut ditinggali keluarga pelukis legendaris itu.
Fon dan keluarga memang menempati sebagian dari bangunan yang dijadikan museum tersebut. Museum dan tempat tinggal keluarga Fon hanya dipisahkan oleh sebuah pintu kayu. Suasana museum memang sangat hommy, layaknya sebuah hunian biasa. Aroma "rumah" itu tampak dari kegiatan perawatan rumah yang berlangsung seperti biasa di tengah hilir mudik pengunjung. Tukang kebun menyapu bagian belakang rumah. Di bagian lain, seorang pembantu membersihkan kaca jendela. Di bagian tengah ruang, disediakan kursi dengan meja untuk tempat pengunjung bersantai dan menikmati suasana rumah.
Fon menyatakan perlu kerja keras untuk menyulap rumah megah itu menjadi museum. Setidaknya, Fon harus melakukan riset terlebih dahulu mengenai sosok kakeknya, Tjong A Fie. Dia sampai perlu berburu arsip mengenai mendiang kakeknya hingga Institut Tropis di Belanda. "Untung, orang-orang di Belanda sangat welcome. Mereka tak keberatan memberikan sebagian dokumen tentang kakek kepada saya," ucap dia.
Museum itu berisi koleksi pribadi Tjong A Fie. "Tapi, itu baru seperempat saja. Yang lain masih banyak. Sebagian dibawa anak-anak Tjong A Fie lainnya," katanya.
Untuk keperluan museum, Fon mempekerjakan empat guide. Mereka bertugas mengawal tamu yang datang dan menjelaskan sejarah Tjong A Fie, barang-barang koleksi, hingga ruang-ruang di museum tersebut. Sri Wahyuni merupakan salah seorang di antara empat guide yang bekerja di museum keluarga itu. Hampir setahun bekerja, dia sudah sangat mahir menjelaskan setiap detail kediaman Tjong A Fie. Bahkan, soal asal usul ukiran di perabot museum itu, Yuni mengerti betul.
"Lemari tersebut dipesan di Yunani. Bisa dilihat dari ukirannya yang melambangkan Dewa Zeus," jelas Yuni kepada para tamu yang bertanya mengenai lemari antik di kamar tidur Tjong A Fie.
Ke depan, Fon ingin menjadikan Tjong A Fie Institute sebagai bangunan tiga dimensi. Tak hanya menampilkan sejarah serta isi rumah, tetapi juga menyuguhkan aneka hasil budaya peranakan. Sebab, Lim Koei Yap, istri ketiga Tjong A Fie, merupakan orang Tiongkok peranakan dari Timbang Langkat, Binjai.
"Misalnya, nanti kami menyuguhkan aneka penganan khas Tiongkok peranakan," terang Fon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimanakah tanggapan Anda tentang hal ini.
Silahkan menuliskan komentar Anda pada opsi Nama/URL, lalu tulis nama anda dan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia.
Jika anda tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongi.